MAKALAH TEORI SOSIAL INDONESIA DINAMIKA SOSIAL BUDAYA YOGYAKARTA DITINJAU DARI REFLEKSI PEMIKIRAN SELO SUMARDJAN
MAKALAH TEORI SOSIAL INDONESIA
DINAMIKA SOSIAL BUDAYA YOGYAKARTA
DITINJAU DARI REFLEKSI PEMIKIRAN SELO SUMARDJAN
Dosen Pengampu : Dr. Nasiwan, M.Si.
Disusun oleh :
Lutviyani (17416241021)
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN
SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS
NEGERI YOGYAKARTA
2019
KATA
PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT atas segala berkat, rahmat,
taufik, serta hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah dengan
judul “Dinamika Sosial Budaya Yogyakarta Ditinjau dari Refleksi Pemikiran Selo
Sumardjan”. Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan baik
dari segi isi maupun bahasa. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan
saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata penyusun
berharap makalah ini dapat memberikan wawasan dan pengetahuan kepada para
pembaca pada umumnya dan pada penyusun pada khusunya.
Yogyakarta, 25 Desember 2018
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pengertian sosial budaya mengandung makna sosial dan budaya.
Sosial dalam arti masyarakat atau kemasyarakatan berarti segala sesuatu yang
bertalian dengan sistem hidup bersama atau hidup bermasyarakat dari orang atau
sekelompok orang yang didalamnya sudah tercakup struktur, organisasi,
nilai-nilai sosial, dan aspirasi hidup serta cara mencapainya. Arti budaya,
kultur atau kebudayaan adalah cara atau sikap hidup manusia dalam hubungannya
secara timbal balik dengan alam dan
lingkungan hidupnya yang didalamnya sudah tercakup pula segala hasil dari
cipta, rasa, karsa, dan karya, baik yang fisik materiil maupun yang psikologis,
idiil dan spiritual. Dengan lain perkataan, kebudayaan mencakup kesemuanya yang
didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat (Ranjabar,
2014).
Kebudayaan terdiri atas segala sesuatu yang dipelajari dari
pola-pola perilaku yang normatif, artinya mencakup segala cara-cara atau
pola-pola berpikir, merasakan dan bertindak. Dari uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa pengertian sistem sosial budaya, yaitu merupakan suatu
keseluruhan dari unsur-unsur tata nilai, tata sosial dan tata laku manusia yang
saling berkaitan dan masing-masing unsur bekerja secara mandiri serta
bersama-sama satu sama lain saling mendukung untuk mencapai tujuan hidup
manusia dalam bermasyarakat. (Ranjabar, 2014).
Yogyakarta adalah satu kota yang
sangat kaya dalam tradisi dan cara hidup yang unik. Bagi mayoritas penduduk
asli Yogyakarta, pandangan pada pusat kraton dan sri sultan masih dianggap
penting sebagai kesinambungan cara hidup mereka dalam dunia ini yang tetap
berubah. Walaupun sekarang penduduk Yogyakarta cukup besar dan modern, kota ini
adalah satu kota yang masih terkenal sebagai penjaga kebudayaan Jawa dimana
masyarakat tetap melestarikan adat-istiadatnya. Sosial budaya yogyakarta telah
mengalami perubahan seiring dengan perkembangan waktu. Perubahan di Yogyakarta
sudah terjadi sejak zaman kolonialisme hingga sekarang.
Banyak pemikir yang mengemukakan
teori mereka tentang sosial dan kebudayaan. Salah satunya adalah pemikir Selo
Sumardjan yang mengkaji perubahan sosial di Yogyakarta hingga menghasilkan
sebuah teori dan analisis. Selo Sumardjan merupakan merupakan bapak sosiologi
Indonesia. Ia membuat thesis yang berjudul Social Change in in Jogjakarta. Selo
Sumardjan dalam mengkaji perubahan sosial di Yogyakarta berdasarkan perilaku
dan apa yang pernah terjadi dalam masayarakat Yogyakarta. Terlebih Selo
Sumardjan pernah berkarier sebagai pengawal
Kesultanan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana dinamika sosial budaya di Yogyakarta?
2.
Bagaimana pemikiran Selo Sumardjan terkait
dinamika sosial budaya di Yogyakarta?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui dinamika sosial budaya di Yogyakarta.
2. Untuk mengetahui pemikiran Selo Sumardjan terkait
dinamika sosial budaya di Yogyakarta.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Dinamika
sosial budaya di Yogyakarta.
a)
Gambaran Umum Yogyakarta
Daerah Istimewa Yogyakarta (atau
Yogyakarta) dan seringkali disingkat DIY, Kota Yogyakarta (kotamadya,
nama lain yang akrap yaitu, Yogya, Jogja, Yogyakarta, Jogjakarta) adalah termasuk
kedalam sebuah kota
besar di Indonesia, dan sebuah provinsi
di Indonesia
yang terletak di bagian selatan Pulau Jawa,
selain itu berbatasan dengan Provinsi Jawa
Tengah di sebelah utara. Secara geografis Yogyakarta
terletak di pulau Jawa bagian Tengah.
Dasar filosofi pembangunan Yogyakarta
adalah “Hamemayu Hayuning Bawana”, sebagai cita-cita luhur untuk
menyempurnakan tata nilai kehidupan masyarakat Yogyakarta berdasarkan nilai
budaya daerah yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Hakekat budaya adalah
hasil “cipta, karsa dan rasa”, yang diyakini masyarakat sebagai
sesuatu yang benar dan indah. Demikian pula budaya daerah di DIY, yang diyakini
oleh masyarakat sebagai salah satu acuan dalam hidup bermasyarakat, baik ke
dalam (Intern) maupun ke luar (Extern)
Di Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta terdapat 4 kabupaten dan 1 kotamadya.
Ibu kotanya adalah Kota Yogyakarta
(kotamadiya). Berikut adalah kabupaten beserta Ibu Kota Kabupaten di Daerah
Istimewa Yogyakarta yaitu: Kab.Sleman
dengan luas 574,82 km2 Ibukotanya Sleman (Utara Ibu Kota
Propinsi), Kab.Gunung Kidul dengan luas 1.485,36 km2 Ibukotanya Wonosari
(Timur Ibu kota Propinsi), Kab.Bantul
dengan luas 506,85 km2 ibukotanya Bantul (Selatan Ibu Kota
Propinsi), Kulon Progo dengan luas 586,28 km2 Ibukotanya Wates
(Barat Ibu Kota Propinsi).
Seni dan budaya merupakan suatu kegiatan
yang tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Yogyakarta pada
umunya. Sejak masih kecil hingga dewasa, masyarakat Yogyakarta sangat sering
menyaksikan dan bahkan, berpartisipasi dalam berbagai acara pergelaran kesenian
dan budaya di kota ini. Bagi masyarakat Yogyakarta, di mana setiap tahapan
kehidupan di bumi ini meliliki arti tersendiri, tradisi adalah sebuah hal yang
penting yang perlu dilestarikan dan masih dilaksanakan sampai saat ini. Oleh
sebab itu, tradisi juga pasti tidak lepas dari kesenian yang disajikan dalam
upacara-upacara tradisi tertentu.
Selain dijuluki sebagai Kota Gudeg, Kota
seni dan budaya, kota pariwisata Yogyakarta juga dijuluki sebagai Kota
Pelajar. Julukan kota pelajar memang pantas untuk di sandang oleh
Yogyakarta. Hal ini terlihat dari banyaknya universitas yang tersedia di kota
ini. Dengan banyaknya berdiri universitas di kota ini dangan sendirinya
juga akan melimpahnya mahasiswa dari berbagai penjuru Nusantara yang datang
untuk menempuh pendidikan di kota ini. Yogyakarta juga pantas dibilang
sebagai “miniatur Indonesia” karena tedapat bayak suku-suku
bangsa di Yogyakarta yang diwakili oleh mahasiswa-mahasiswi sebagai
putra-putri daerah dari propinsi-propinsi, dan secara alamiah mereka yang
beragam ini akan bersosialisasi (adaptasi), itulah kenapa dalam wacana
akademis Yogyakarta di anggap sampel Indonesia, “miniatur Indonesia”.
Kehidupan sosial masyarakat Kota
Yogyakarta sekarang ini sudah bercampurbaur menjadi satu antara pribumi dan
masyarakat pendatang, antara tradisional dengan modern, antara desa dengan
kota, antara kaya dan miskin. nyaris kabur perbedaan antara dua kelompok
tersebut. Cuma pada status-status tertentu masih terlihat membedakan antara
yang atas dan yang bawah, Biasanya dijumpai di masyarakat kepegawaian yang ada
struktur dan yang “berdarah biru” atau berhubungan dengan kraton.
b)
Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat
Yogyakarta dan Perubahannya.
Berbicara
mengenai sosial budaya makaa berbicara pula mengena kebudayaan. Di setiap
masyarakat mempunyai kebudayaan yang slaing berbeda satu dnegan yang lainnya,
namun setiap kebudayaan mempunyai sifat yang hakikat, yang berlaku umum bagi
semua kebudayaan di manapun juga. Sifat hakikat kebudayaan tadi adalah sebagai
berikut:
·
Kebudayaan
terwujud dan tersalurkan lewat perilaku manusia.
·
Kebudayaan
telah ada terlebih dahulu, mendahului lahirnya suatu generasi tertentu dan
tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan.
·
Kebudayaan
diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya.
·
Kebudayaa
mencakup aturan aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban, tindakan-tindakan
yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang dan tindakan-tindakan
yang diizinkan. (Ranjabar, 2014)
Sedangan
Sosial
budaya terdiri dari dua kata yaitu sosial dan budaya. Sosial berarti
segala sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat sekitar. Sedangkan
budaya berasal dari kata bodhya yang artinya pikiran dan akal
budi. Budaya juga diartikan sebagai segala hal yang dibuat manusia
berdasarkan pikiran dan akal budinya yang mengandung cinta dan rasa. Jadi
kesimpulannya adalah sosial budaya merupakan segala hal yang di ciptakan
manusia dengan pikiran dan budinya dalam kehidupan bermasyarakat.
Kehidupan sosial budaya masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan
perilaku manusia dalam menjaga nilai-nilai luhur demi menciptakan tatanan
masyarakat yang baik. Nilai-nilai luhur tersebut dilahirkan dalam bentuk adat
istiadat berupa upacara adat, kebudayaan kuliner dan memelihara citra
lingkungan misalnya dalam wujud desa wisata.
Dalam hal perilaku kehidupan sosial budaya, masyarakat Daerah Istimewa
Yogyakarta tidak bisa lepas dari kebudayaan yang membentuknya, yaitu kebudayaan
dari peradaban Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Hal ini bisa berupa
perkembangan ataupun akulturasi budaya dari masa ke masa. Maupun merupakan
warisan yang dijaga utuh baik secara bentuk dan nilai yang terkandung di
dalamnya.
Kebudayaan yang berasal dari masa Mataram Kuno, Mataram Islam, masa
kolonialisme dan masa revolusi perjuangan mempengaruhi kehidupan sosial budaya
masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Sehingga tidak lain bahwa kehidupan
sosial masyarakat saat ini merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat dari
peradaban sebelumnya.
Sosial
budaya di Yogyakarta mengalami perubahan dari masa ke masa. Perubahan masyarakat
Yogyakarta dimulai sejak zaman kolonial hingga sekarang. Kolonialisme di
Indonesia membawa perubahan-perubahan mendasar di dalam masyarakat dan
menggeser pusat kekuasan. Dengan adanya kolonial Belanda, kapitalisme terbentuk
secara massif di Indonesia. Kapitalisme merubah sistem ekonomi tradisional dan
merubah sistem sosial dengan membentuk kelas-kelas berdasarkan level ekonomi.
Sebelum masuknya kolonial Belanda, sistem ekonomi yang digunakan adalah sistem
ekonomi feudal, dimana ekonomi didasarkan pada hirarki kerajaan. Petani
memberikan hasil tani mereka kepada Raja sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Di zaman kolonial, sistem ini digunakan oleh pemerintah kolonial pada awalnya,
tetapi pada akhirnya pemerintah kolonial Belanda bertransaksi langsung dengan
petani ketika lahan pribadi mulai berkembang sehingga pengaruh kapitalisme
dapat dirasakan hingga ke seluruh sendi masyarakat. Selain pembentukan sistem
ekonomi, perubahan juga terjadi karena pembentukan sistem pemerintahan kolonial
yang merubah golongan priyayi. Kaum priyayi yang tadinya berada di bawah
Keraton digunakan dalam administrasi kolonial sehingga ikatan subordinasi
mereka berpindah, tidak lagi pada keraton tetapi kepada pemerintah kolonial.
Perubahan
di dalam masyarakat Yogyakarta telah menggeser nilai-nilai yang dahulu dianut
oleh masyarakat tersebut. Walaupun secara falsafah nilai-nilai ini dipahami
banyak orang, di dalam berperilaku, nilai-nilai ini tidak diterapkan
sepenuhnya. Perubahan budaya di dalam masyarakat Yogyakarta menggeser otoritas
politik Kesultanan Yogyakarta dengan menggeser legitimasi Kesultanan
Yogyakarta. Saat ini, otoritas politik Kesultanan Yogyakarta ada karena status
Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa. Sumber otoritas Sultan adalah posisinya
sebagai Gubernur DI Yogyakarta. Tanpa status ini, Kesultanan Yogyakarta akan
sama dengan kesultanan di daerah lain seperti Cirebon dimana kesultanan ada
tetapi tidak memiliki kemampuan untuk mengatur daerahnya.
c) Pengaruh-pengaruh pada Kebudayaan Jawa di Yogyakarta
Prubahan
sosial budaya di Yogyakarta tentunya
terjaid karena danya faktor pengaruh baik dari dalam maupun dari luar.
Unsur-unsur yang memepengaruhi kebudayaan Yogyakarta telah mengakibatkan
perubahan dari berbagai aspek. Perubahan yang terjadi mengakibatkan dinamika
sosial budaya masyarakat Yogyakarta.
Terdapat
unsur-unsur yang menjadi pengaruh kebudayaan Jawa di Yogyakrta. Meskipun tidak
berpengaruh secara menyeluruh namun unsur-unsur tersebut berdampak pada
perubahan Sosial di Yogyakarta. Unsur-unsur tersebut antara lain:
1.
Globalisasi
Untuk masyarakat jawa di Yogyakarta, globalisasi tidak begitu berdampak
besar pada bidang ekonomi karena kebanyakan barang-barang dijual dan dibeli di
pasar-pasar lokal, khususnya barang-barang pertanian, walaupun di kota modern
seperti Yogyakarta dampaknya tak dapat mutlak diabaikan sebab dari pendapat
para responden, khususnya yang memiliki upah rendah, globalisasi adalah sesuatu
yang mampu berdampak besar pada cara hidup mereka.
2.
Konsumerisme
Pengaruh konsumerisme dapat dihubungkan dengan jumlah
jawaban yang disampaikan oleh para responden tentang perubahan kebudayaan,
misalnya kenaikan jumlah mall di kota Yogyakarta. Banyaknya mal yang berkembang
membuat tingkat konsumsi masyarakat Yogyakrta juga meningkat. Perkembangan
mall-mall baru secara nyata akan mengancam pemilik toko tradisional yang
menjual-beli di daerah sekitar mall itu.Walaupun pengaruh ini sendiri tak akan
merusak kebudayaan, dengan pasti akan mengontribusikan pada kekurangan
pengetahuan dan cara menurunkan suatu cara hidup pada generasi berikut, maka
lama kelamaan orang-orang akan melupakan cara hidup mereka yang dahulu.
3.
Masuknya Budaya asing.
Pemasukan kebudayaan asing ke dalam kota Yogyakrta
berdampak pada perubahan sosial di Yogyakrta. Kebudayaan asing yang masuk
menggerus nilai dan norma yang ada dalam kebudayaan dan sosial Yogyakarta.
Masuknya budaya asing membuat sistem pemerintahan Yogyakarta terbagi dengan
kesultanan yogyakarta dan pemerintahan penjajah (Pemerintahan Belanda dan
Jepang). Belum lagi kebudayaan asing yang para penjajah bawa akan turut serta
berpengaruh pada kebudayaan asli Jogjakarta yang penuh dengan tradisi dan adat
istiadat.
4.
Kebudayaan Dalam Negeri
Kebudayaan dalam negeri atau domestik merujuk
kebudayaan-kebudayaan lain yang berada antara segala masyarakat di nusantara
negara Indonesia. Masyarakat Jawa itu yang terbesar dan tertua dari semua
masyarakat ini, yang termasuk kebudayaan dan masyarakat Sunda, Madura, Betawi,
Batak dan Papua antara lain. Banyak responden menyampaikan kekhwatiran yang
mendalam tentang kebudayaan domestik yang berdampak pada masyarakat Jawa
setempat di Yogyakarta. Kekhwatiran ini datang dari sejumlah pendatang baru di
Yogyakarta dari wilayahwilayah lain di Indonesia.
B. Pemikiran
Selo Sumardjan terkait dinamika sosial budaya di Yogyakarta.
a.
Biografy Selo Sumardjan
Kanjeng Pangeran Haryo Prof. Dr.
Selo Sumardjan lahir di Yogyakarta
pada taggal 23
Mei 1915. Selo
Sumardjan adalah seorang tokoh pendidikan dan pemerintahan Indonesia. Selo
Sumardjan dikenal dikalangan akademik masyarakat di Indonesia sebagai bapak
sosiologi. Selama hidupnya, Selo pernah berkarier sebagai pegawai
Kesultanan/Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepala Staf
Sipil Gubernur Militer Jakarta Raya, dan Kepala Sekretariat Staf Keamanan Kabinet
Perdana Menteri, Kepala Biro III Sekretariat Negara merangkap Sekretaris Umum
Badan Pemeriksa Keuangan, Sekretaris Wakil Presiden RI Sultan Hamengku Buwono
IX (1973-1978), Asisten Wakil Presiden Urusan Kesejahteraan Rakyat (1978-1983)
dan staf ahli Presiden HM Soeharto.
Ia dikenal sebagai Bapak Sosiologi Indonesia setelah tahun 1959, seusai
meraih gelar doktornya di Cornell University, AS. Ia mengajar sosiologi di
Universitas Indonesia (UI). Dialah pendiri sekaligus dekan pertama Fakultas
Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (sekarang FISIP) UI. Kemudian tanggal 17
Agustus 1994, ia menerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah dan
pada tanggal 30 Agustus menerima gelar ilmuwan utama sosiologi. Pendiri FISIP UI ini, memperoleh gelar profesor dari
Fakultas Ekonomi UI dan sampai akhir hayatnya justru mengajar di Fakultas Hukum
UI.
Ia dibesarkan di lingkungan abdi dalem Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat.
Kakeknya, Kanjeng Raden Tumenggung Padmonegoro, adalah pejabat tinggi di kantor
Kasultanan Yogyakarta. Berkat jasa sang kakek, Soemardjan- begitu nama
aslinya-mendapat pendidikan Belanda. Ia dikenal sangat disiplin dan selalu
memberi teladan konkret. Ia ilmuwan yang meninggalkan banyak bekal ilmu
pengetahuan. Sebetulnya ia sudah purnatugas di Universitas Indonesia (UI).
Tapi, karena masih dibutuhkan, ia tetap mengajar dengan semangat tinggi. Ia
memang seorang sosok berintegritas, punya komitmen sosial yang tinggi dan sulit
untuk diam.
Ia orang yang tidak suka memerintah, tetapi memberi teladan. Hidupnya
lurus, bersih, dan sederhana. Ia tokoh yang memerintah dengan teladan,
sebagaimana diungkapkan pengusaha sukses Soedarpo Sastrosatomo.
Nama Selo dia peroleh setelah menjadi camat di Kabupaten Kulonprogo. Ini memang cara khusus
Sultan Yogyakarta membedakan nama pejabat sesuai daerahnya masing-masing. Saat
menjabat camat inilah ia merasa mengawali kariernya sebagai sosiolog.
Pengalamannya sebagai camat membuat Selo menjadi peneliti yang mampu
menyodorkan alternatif pemecahan berbagai persoalan sosial secara jitu. Ini
pula yang membedakan Selo dengan peneliti lain.
Sebagai ilmuwan, karya Selo yang sudah dipublikasikan adalah Social
Changes in Yogyakarta (1962) dan Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi (1963).
Penelitian terakhir Selo berjudul Desentralisasi Pemerintahan. Terakhir ia
menerima Anugerah Hamengku Buwono (HB) IX dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada puncak
peringatan Dies Natalis Ke-52 UGM tanggal 19 Januari 2002 diwujudkan dalam
bentuk piagam, lencana, dan sejumlah uang.
b.
Perubahan Sosial di Yogyakarta Menurut
Refleksi Selo Sumardjan
Pemikiran
utama dari Selo Sumardjan bersumber dari karya beliau yang dibukukan dengan
judul “Perubahan Sosial di Yogyakarta”. Buku ini mengkaji dan menjelasan
perubahan sosial masyarakat Jawa di Yogyakarta. Perubahan sosial yang dikupas
di buku ini tidak melihat pada proses perubahan masyarakat yang diakibatkan
oleh berbagai proses perkembangan biologis, seperti pertumbuhan penduduk dan
pergantian generasi. Perubahan sosial
yang digagas Selo Sumardjan justru berfokus pada perubahan di dalam
lembaga-lembaga masyarakat yang mempengaruhi sistem sosial, yang didalamnya
termasuk nilai,norma, sikap, dan tingkah laku. Selo Sumardjanmemusatkan
studinya tentang perubahan sosial di lembaga-lembaga politik yang ada di Daerah
Istimewa Yogyakarta pada kurun waktu Masa penjajahan Belanda, Masa pendudukan
Jepang dan perjuangan kemerdekaan nasional yang berlangsung selama empat tahun.
Perubahan
Sosial yang meruapkan pemikiran dari Selo Sumardjan merupakan bagian dari ilmu
sosiologi yang mencoba memotret dinamika sosial masyarakat. Perubahan sosial
dalam konsep pemikiran Selo Sumardjan adalah perubahan pada lembaga-lembaga
masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai-nilai sosial,
sikap dan pola tingkah laku antar kelompok dalam masyarakat.
Perubahan
sosial Yogyakarta berasal dari perubahan-perubahan ideology politik dalam
masyarakat Jawa terutama di Yogyakarta. Menurut Selo Sumardjan, perubahan
politik dan pemerintahan di Yogyakarta diprakarsai oleh Sultan Hamengkubuwono
atau oleh pemerintah propinsi di bawahnya. Dalam konteks ini perubhan sosial
memunculkan dua aspek penting tentang dugaan bahwa perubahan sosial ini
disegaja atau disengaja. Perubahan sosial yang disengaja adalah perubahan yang
telah diketahui dan direncanakan sebelumnya oleh anggota masyarakat yang
berperan sebagai pelopor perubahan. Adapun perubahan yang tidak disengaja
merupakan perubahan yang tidak direncanakan sebelumnya. Dalam peruabhan sosial
di Yogyakarta, perubahan sosial yang disengaja adalah perubahan pemerintahan,
sednagka perubahan yang tidak disengaja adalah pola semakin kuatnya masyarakat
padukuhan termasuk pula hilangnya kaum bangsawan secara berangsur-angsur dari
kedudukan kelas atas dalam masyarakat. (Nasiwan, 2016)
Proses
perubahan sosial yang terjadi di Yogyakarta, ketika itu memunculkan dalil-dalil
umum yang merupakan karateristik perubahan sosial. Berikut dalil-dalil umum
dari pemikiran Selo Sumardjan:
1. Hasrat akan perubahan sosial bisa
berubah menjadi tindakan untuk mengubah kalau ada rangsangan yang cukup kuat
untuk mengatasi hambatan-hambatan yang merintangi tahap permulaan proses
perubahan.
Yang dimaksud stimulus langsung
menuju perubahan ialah semua faktor yang merupakan pendorong langsung bagi
proses perubahan itu. Walaupun kekuatan-kekuatan yang mendasari-akhirnya
memperbesar hasrat akan perubahan- mungkin telah bekerja dalam waktu yang cukup
lama, masih dibutuhkan suatu stimulus langsung untuk mengubah hasrat ini
menjadi suatu keputusan untuk mengubah. Jika hambatan itu bisa diatasi dengan
mudah, ada kemungkinan perubahan akan maju berangsur-angsur tanpa mengakibatkan
terjadinya banyak gangguan sosial.Akan tetapi jika hambatan-hambatan itu harus
disingkirkan dengan kekatan, pengaruh perubahan itu cenderung disertai cukup
banyak disorganisasi sosial.
Jelas bahwa masyarakat jawa pada
zaman dahulu telah menginginkan adanya perubhan dalam pemerintahan. Hal
tersebut terbukti dengan adanya pemberontakan terhadap penguasa asing yang
dilakukan oleh masyarakat dan kebencian mereka terhadap Belanda telah cukup
membuktikan akan adanya hasrat untuk berpemerintahan sendiri.
Penduduk pedesaan yang tak
terorganisasi dan buta huruf menyadari kondisi-kondisi kehidupannya yang tak
memuaskan dan di dalam fikiran mereka, mereka menyalahkan pemerintah, akan
tetapi dalam cara berpikir mereka yang takterungkapkan mereka tak bisa
merumuskan kepahitan hidupnya.
Ketidakpuasan umum ini semakin
menjadi-jadi selama masa pendudukan jepang, tekanan psikologis yang melanda
rakyat muncul dalam bentuk apatisme sosial, yang menghilangkkan inisiatif
mereka untuk bekerja secara efektif untuk penghidupan mereka. Hasrat akan
perubahan menjadi makin kuat, dan rangsangan yang paling kecil sekalipun sudah
cukup untuk membuat mereka mengambil keputusan untuk melakukan perubahan
sosial.
Hasrat yang semakin besar dan
dorongan ke arah perubahan ini hanya bisa berubah menjadi tindakan dengan
stimulus yang kuat berupa proklamasi kemerdekaan nasional pada tanggal 17
Agustus 1945. Keyakinan bahwa seluruh bangsa telah mengikuti para pemimpin
nasional dalam mengadakan perubahan dan bahwa hambatan-hambatan utama dalam
menuju prubahan-perubahan fundamental telah berkurang akibat kekalahan tentara
jepang, telah menjadi sebab rakyat Yogyakarta memutuskan untuk mengadakan
perubahan pemerintahan.
2. Orang-orang yang mengalami tekanan
kuat dari luar cenderung untuk mengalihkan agresii balasan mereka-kalau memang
mereka melakukan agresi- dari sumber tekanan yang sebenarnya ke sasaran sasaran
materiil yang ada sangkut pautnya dengan sumber itu.
Tidak bisa diragukan bahwa penduduk
yogyakarta tidak mempunyai kekuatan dan sarana untuk melawan pemerintah Belanda
dan Jepang dengan kemungkinan akan berhasil. Sesungguhnya, agresi tak pernah
merupakan pembawaan orang jawa, kebudayaan mereka memberikan nilai yang tinggi
pada kepatuhan pada penguasa dan adaptasi dengan lingkungan fisik. Tekanan peguasa asing yang terus menerus yang
merintangi perkembangan aspirasi sosial dan kultural mereka secara bebeas telah
membuat mereka ersikap agresif. Namun sikap ini tak bisa dikembangkan menjadi
tindakan agresif melawan pemerintah Belanda atau Jepang karena lemahnya
organisasi, pengetahuan serta peralatan penduduk dibandingkan dengan penguasa
asing. Oleh karena itu, tindakan-tindakan agresif mereka tidak diarahkan kepada
tubuh pemerintah asing itu sendri, akan tetapi dialihkan pada sasaran-sasaran
yang ada hubungannya dengan kekuatan-kekuatan yang menimbulkan gangguan dan
frustasi. Hal tersebut nampak pada seringnya terjadi kebakaran di ladang tebu
perkebunan gula Belanda dan juga pengrusakan tanaman corchorus yang harus di
tanam di Jaman Jepang. Semua tindakan
ini nampaknya meredakan ketegangan masyarakat dan ada kalanya membawa
perbaikan, meskipun hanya sementara, seperti yang diinginkan oleh rakyat.
3. Rakyat yang tertekan oleh kekuatan
luar cenderung untuk bekerjasama-kalau mereka mengadakan kerjasama- dengan
kekuatan luar hanya untuk membpertahankan ketentraman jiwa mereka sendiri.
Karena rakyat tahu bahwa serangan
yang benar-benar terhadap pemerintah Belanda dan Jepang tak akan berhasil
dimanapun juga, sudah semula bisa diperkirakan bahwa masyarakat jawa akan
mengadakan kerjasama pasif dengan penguasa atau menarik diri dari penguasa
Belanda dan Jepang. Sehigga kerjasama hanya dilaksanakan untuk memelihara
hubungan baik atara para warga pamong praja dengan pemerintah desa sehingga
tidak menimbulkan frustasi dikalangan para warga masyarakat.
4. Orang-orang yang tertekan cenderung
untuk menjadi lebih agresif begitu mereka semakin menyadari adanya kesenjangan
anatara keadaan hidup mereka sekarang dengan keadaan yang mereka inginkan.
Tekanan yang berlangsung terus pada
masyarakat jawa di Yogyakarta yang dilakukan oleh pemerintah asing berakibat
lain pada kelompok yang berpendidikan barat, terutama mereka yang tidak
menduduki suatu jabatan dalam pemerintahan. Respon mereka terhadap tekanan
cenderung lebih banyak berupa serangan, dan kurang dalam bentuk kerjasama
ataupun penarikan diri. Perilaku agresif, terutama di bidang poltik, sangat
mungkin berkembang karena tingginya tingkat ketidak-puasan yang meresahkan para
anggota kelompok ini. Berbeda dengan kegiatan agresif orang desa buta huruf
yang tak terorganisasi, para anggota golongan elite politik terpelajar tidak
mengalihkan tindakan-tindakan mereka kepada sasaran sampingan, tetapi lagsung
kepada pemerintah yang ada. Juga sering
terjadi bahwa tindakan-tindakan mereka ditujukan kepada golongan asing yang
memegang kekeuasaan pemerintahan pada waktu itu.
5. Proses perubahan sosial di kalangan
para pelopor-pelopornya bermula dari pemikiran ke sesuatu di luar (external,
dikalangan para warga masyarakat lainnya proses itu berlangsung dari sesuatu di
luar (external) ke sesuatu yang bersifat kelembagaan.
Dikatakan bahwa pada permulaan
revolusi nasional masyarakat tani buta huruf di Yogyakarta menunjukan sikap
negatif terhadap perubahan sosial yang revolusioner semenjak kemerdekaan
Indonesia, sedangkan kaum elite terpelajar bersifat positif. Masyarakat tani
ikut dalam revolusi kemerdekaan untuk melepaskan diri dari berbagai tekanan yang
dideritanya terutama selama pendudukan Jepang. Mereka cukup sadar akan apa yang
akan ditinggalkannya, tapi mereka tak mengetahui sama sekali kemana mereka
harus menuju.
Perbedaan yang timbul akan adanya
kesenjangan antara kelompok elite terpelajar dan masyarakat yang buta huruf
terdapat dalam proses perubahan sosial itu sendiri. Dikalangan para pemimin
yang tereplajar, perubahan sosial bermula dengan proses akulturasi pada tingkat
pemikiran. Gagasan-gagasan demokratis
dperoleh dari kebudayaan lain, yakni kebudayaan Belanda, melalui pendidikan dan
kontak yang berulangkali sehingga diterima oleh kelompok itu. Ketika Belanda
masih berkuasa, gagasan baru itu tak lebih dari apa yang disebut oleh Karl
Mannheim Utopia, yang berbeda dari gagasan-gagasan yang ada, akan tetapi
dicita-citakan oleh rakyat. Diilhami oleh gagasan-gagasn utopia ini, kaum elite
terpelajar mulai mengeritik tatanan politik yan ada pada waktu itu, nilai-nilai
serta norma-norma baru diterima dan ini menentukan sikap politik mereka.
Tatkala revolusi nasional membuka jalan untuk mewujudkan gagasan gagasan
tersebut, mereka mendirikan organisasi-organisasi politik sebagai simbol
eksternal.
6. Harta kekayaan yang diinginkan,
tetapi tidak bisa lagi diperoleh karena jalan itu tertutup oleh kekuatan-kekuatan
luar, telah kehilangan nilai sosialnya oleh rasionalisasi, dalam hal-hal yang
ekstrim harta kekayaan itu tidak dihargai.
di masa lampau, masyarakat Jawa di
Yogyakarta, sebagai bagian dari masyarakat Jawa di seluruh pulau Jawa
memberikan penghargaan yang tinggi pada benda ekonomis dan memberikan
penghargaan yang tinggi pula kepada orang-orang kaya. Ini terjadi ketika orang
jawa masih bebas melakukan hubungan ekonomi dengan pulau-pulau lainnya di
Indonesia, dan juga dengan bagian-bagian lain pulau Jawa.
Tatkala kebebasan untuk melakukan
kegiatan ekonomi dibatasi oleh VOC dan jalan menuju kemakmuran terutup, nilai
sosial harta kekayaan itupun menurun. Bersamaan dengan itu, ketika golongan
Cina di Jawa diankmaskan oleh Belanda dalam kegiatan perekonomian dan menjadi
relatif kaya dengan mengorbankan penduduk pribumi, timbullah perasaan benci
terhadap golongan minoritas ini. Perasaan benci itu lalu dialihkan kepada
kegiatan ekonomi pada umumnya, sehingga mencari keuntungan dipandang tidak
ethis dan tidak cocok dengan nilai-nilai sosial masyarakat Jawa. Nilai-nilai
ini kemudian dipusatkan pada kedudukan di pemerintahan, satu-satunya bidang
dimana orang Jawa diberi kesempatan untuk mencapai sukses. Para pejabat
pemerintah dipandang mempunyai prestise sosial tertinggi, dan kegiatan ekonomi
dilakkan hanya untuk mempertahankan diri dan keluarga dari kemiskinan. Makhluk
ekonomi pun lenyap di kalangan masyarakat Jawa. Yang masih hanyalah makhluk
sosial.
7. Rakyat menolak perubahan karena
beberapa alasan, antara lain:
1) Mereka tak memahaminya
2) Perubahan itu bertentangan dengan
nilai-nilai serta norma-norma yang ada
3) Para anggota masyarakat yang
berkepentingan dengan keadaan yang ada (vested interest) cukup kuat menolak
perubahan
4) Resiko yang terkandung dalam
perubahan itu lebih besar daripada jaminan sosial dan ekonomi yang bisa
diusahakan
5) Pelopor perubahan ditolak.
Panitia Pembantu Pamong Praja (PPPP)
yang dibentuk oleh Sri Sultan selama pendudukan Jepang tidak diterima baik oleh
Pamong Praja maupun oleh Rakyat. Anggota-anggota panitia dipilih oleh pejabat
kecamatan diatara warga masyarakat desa yang terkemuka, dan panitia itu
dimaksudkan sebagai langkah pendahuluan menuju bentuk pemerintahan demokratis.
Namun, rakyat tidak memahami pembaharuan itu, sebab mereka terbiasa memandang
pemerintahan sebagai suatu badan otoriter pemerintahan pusat tanpa wakil
rakyat.
Suatu inovasi yang sifatnya sama,
bahkan lebih drastis sudah melangkah jauh adalah diadakannya dewa legislatif
dan eksekutif. Inovasi ini terjadi hanya tiga tahun setelah ditolaknya PPPP,
akan tetapi toh diterima sepenuhnya oleh masyarakat. Ada iklim yang
menguntungkan bagi perubahan kedua, rakyat bisa memahaminya berkat program
propaganda mengenai demokrasi dan juga berkat perubahan-perubahan dalam
masyarakat yang sejalan yang mendukung kedua dewan baru itu.
Penolakan terhadap perubahan karena
konflik atau ketidakccokan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang ada
cenderung untuk menimbulkan prlawanan dengan kekerasan, terutama kalau itu
menyangkut segi-segi kebuayaan yang dipandang sakral. Terhadap perubahan dalam
bidnag seks yang peka, timbul perlawanan yang krang keras, tetapi cukup serius.
Intoleransi terhadap penyimpangan-penyimpangan norma-norma sosial yang berlaku
mengenai seks pada umumnya tetap dipertahankan dengan ketat.
Peranan dari golongan vested
interest sebagai suatu kekuatan yang menentang perubahan sosial adalah suatu
gejala yang umum. Kekuasaan yang nyaris otoriter yang ada ditangan pamong praja
Yogyakrta selama masa penjajahan snagat berlawanan dengan permbakan yang
demokratis di bidang pemerintahan yang menggerogoti kekuasan mereka yang sudah
mapan. Namun, pamong praja tidak cukup kuat untuk menolak perubahan politik
selama revolusi nasional.
Kegagalan Dinas Pertanian sebelum
perang untuk memperkenalkan jenis-jenis tanaman baru di kalangan kaum tani yang
mata pencaharian utamanya bertumpu pada usaha pertanian untuk menyambung hidup,
termasuk kategori motivasi penolakan terhadap perubahan yang keempat. Tiap
pembaharuan betapapun kecilnya, mempunyai resiko gagal. Petani miskin tak
snaggup memikul resikonya, karena kegagalan satu panen bagi mereka berarti
kehilangan persediaan pangan hingga panen berikutnya.
Kategori kelima daripada motivasi
yang menentang perubahan bisa kita sebut irasional dan emosional. Dikalangan
rakyat di Yogyakrta telah berkembang perasaan antipati terhadap Jepang selama
masa penjajahannya. Antipati yang berkembang menjadi perasaan kebencian ini
akhirnya mencakup segalanya. Setiap tindakan Jepangsellau dipandang dengan
penuh kecurigaan, begitu juga usaha-usaha mereka untuk meningkatkan produksi
prtanian dengan memperkenalkan jenis-jenis padi serta teknik-teknik penanaman
yang baru. Perubahan yang dipaksakan dan kebencian terhadap pelopornya tidak
memungkinkan kaum tani melibatkan diri dengan penuh gairah dalam pembaharuan
ini. Mereka hanya melaksanakan bagian luar daipada pembaharuan itu.
8. Perubahan-perubahan yang tak merata
pada berbagai sektor kebudayaan masyarakat –betapapun menguntungkannya suatu
perubahan bagi aspek kebudayaan tertentu-cenderung menimbulkan
ketegangan-ketegangan dan karenanya mengganggu keseimbangan sosial.
Kemajuan perubahan sosial dan
perubahan kebudayaan yang menyangkut berbagai aspek kebudayaan masyarakat Jawa di Yogyakarta, berlangsung dengan kecepatan yang tidak sama. Perubahan-perubahan
politik telah meloncat dari suatu sistem feodal yang terpusat ke suatu struktur
yang demokratis dan yang disentralisasi dan berlangsung dalam tempo singkat.
Perubahan kualitatif di Yogyakrta ini tercapai dalam waktu kurang dari satu
dasawarsa, sednagkan perubahan-perubahan yang sama di Eropa di waktu lampau
memerlukan waktu lebih dari seabad untuk menjadi mantab. Perubahan-perubahan di
bidang pendidikan berlangsung dnegan kecepatan tinggi, tetapi sifatnya lebih
kuantitatif daripada kualitatif, kecuali perubahan orientasi umum, yaitu dari
bahasa Belanda ke bahasa nasional Indonesia.
Namun, di bidang perekonomian
perubahan berlangsung jauh lebih lamban, walaupun masyarakt telah menciptakan
kondisi-kondisi dasar yang menguntungkan untuk memulai pembangunan ekonomi,
tatanan perekonomian secara keseluruhan di kawasan ini maish jauh tertinggal di
belakang kemajuan di bidnag politik dan pendidikan. Tidak meratanya langkah
perubahan-perubahan ini telah menimbulkan ketegangan dalam masyarakat. Tidak
disangkal bahwa ketegangan-ketegangan ini sebagian merupakan akibat dari
terlalu cepatnya perubahan dalam segala bidang, tetapi juga merupakan akibat
dari perubahan yang tidak merata yang bersamaan terjadinya.
9. Dalam proses perubahan sosial,
kebiasaan-kebiasaan lama dipertahankan dan diterapkan pada inovasi sehingga
tiba saatnya kebiasaan-kebiasaan baru yang lebih menguntungkan menggantikan
yang lama.
Suatu perubahan sosial atau
perubahan kultural yang telah diterima baik oleh masyarakat, pada umumnya tidak
berarti berhenti berlakunya dnegan segera kebiasaan-kebiasaan dan pola tingkah
laku lama yang tidak sejalan dengan lembaga-lembaga yang telah berubah. Khusus
mengenai perubahan yang snagat cepat, lebih sering terjadi bahwa inovasi
berkembang bebaregan dengan proses memudarnya kebiasaan-kebiasaan sosial lama.
Ini terutama berlaku di kalagan anggota masyarakat yang tua, yang kurang
bergairah dibandingkan dengan kalangan mudanya dalam mempelajari
kebiasaan-kebiasaan baru, dan mungkin saja mempunyai kepentingan-lkepentingan
tertentu (vested interests) untuk mempertahakan kebiasaan-kebiasaan yang sudah
usang. Kebiasaan lama dan baru apabila keduanya tidak cocok, pola-pola tingkah
laku lama pada akhirnya akan pudar, asalkan lembaga-lembaga baru tersebut berfungsi
lebih baik daripada yang lama dalam
memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Tetapi jika ada kecocokan anatara keduanya,
yang lama dan yang baru bsa dipertahankan karena keduanya merupakan bagian dari
lembaga-lembaga lainnya yang masih meminkan peranan dominan dalam masyarakat.
Baik pola-pola tingkah laku lama maupun yang baru dan lembaga-lembaga yang baru
akan ditata kembali hingga sesuai dengan struktur sosial yang ada.
10. Kalau rakyat terus menerus tidak
diberi kesempatan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan sosialnya, mereka
cenderung beralih merenungkan dal bukan keduniawian untuk mendapakan
ketentraman jiwa. Dalam hal sebaliknya mereka cenderung untuk menjadi lebih
sekuler dalam sistem kepercayaannya.
Perubahan-perubahan politik menuju
demokrasi di Yogyakrta nampaknya berpengaruh jauhdan tidak hanya pada segi-segi
luar daripada kebudayaan. Dibawah pemerintahan otoriter sultan-sultan Jawa dan
selama penjajahan asing rakyat beralih pada kebatinan sebagai pelarian dari
kenyataan yang tidak menyenangkan. Dalam kebatinan yang membuka jalan untuk
mneghubungkan jiwa seseorang dengan kekuatan-kekuatan luar dunia, orang bisa
menemukan kedamaian. Namun pelarian dari dunia keduniawian dan masyarakat
semacam ini adalah suatu pengingkaran dalam menghadapi masalah-masalah sosial,
ia memberikan jalan keluar bagi orang seorang, tetapi tidak membantu
menyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial itu sendiri. Masalah-masalah itu
tetap ada, dan akibatnya, orang menjadi semakin jauh dari dunia materi.
11. Suatu perubahan sosial, yang
diprakarsai dan dilaksanakan oleh pelopor yang berlawanan dengan kepentingan-kepentigan
pribadi (vested interest) cenderung untuk berhasil.
Dalil ini sebetulnya berlawanan
dengan hipotesa yang menyatakan bahwa rakyat menolak perubahan karena para
warga masyarakat yang mempunyai kepentingan-kepentingan pribadi, cukup kuat
untuk melawan perubahan itu. Sudah merupakan sifat manusia bahwa ia lebih
mementingkan kesejahteraanya sendiri daripaad kesejahteraan masyarakat.
Akibatnhya, adalah lebih umum dan lebih alamiah kalau orang-orang yang vested
interest lebih cenderung untuk mempertahankan status quo dan menentang
perubahan pada umumnya. Apabila orang-orang yang vested interest ini bisa
dibujuk untuk tetap bersikap pasif terhadap perubahan-perubahan sosial,
perubahan sosial mempunyai kemungkinan lebih banyak untuk berhasil berkat tidak
aktifnya salah satu penghalang utama perubahan ini. Dan apabila mereka
berpartisipasi dalam proses perubahan, kemunginan terwujudnya perubahan
tersebut bahkan lebih besar lagi.
Perubahan-perubahan pemerintahan di
Yogyakarta dimulai pada masa pendudukan Jepang dan kemudian pada waktu revolusi
yang diprakarsai oleh Sri Sultan sendiri. Dari seluruh warga masyarakat Jawa di Yogyakrta, Sri Sultan lah yang –sebagai penguasa tradsional
yang arsitokratis dan absolut- nantinya paling terkena oleh perubahan yang
menuju ke demokrasi. Secara harfiah, dia harus menyerahkan kekuasaan
absolutnya, karena buka menjadi penguasa para warganya, melainkan hanya menjadi
abdi mereka. Meskipun demikian, dialah orang yang memulai proses perubahan itu,
kemudian disusul oleh kaum bangsawan serta golongan-golongan lainnya yang punya
kepentingan dan pmerintahan lama, sehingga perubahan-perubahan di bidang
pemerintahan berlangsung cepat, dan relatif hanya sedikit hambatan yang harus
diatasi. Keberhasilan perubahan pemerintahan di Yogyakarta telah menjadi contoh
bagi daerah-daerah lain di Indonesia yang ingin membentuk pemerintahan daerah
yang demokratis.
12. Perubahan yan dimulai dengan
pertukaran pikiran secara bebas diantara para warga masyarakat yang terlibat,
cenderung mencapai sukses yang lebih lestari daripada perubahan yang dipaksakan
dengan dekrit pada mereka.
Salah satu asumsi dasar dalam proses
perubahan ialah bahwa keputusan untuk memulai suatu perubahan harus diambil
secara bebas oleh rakyat, agar perubahan tidak hanya berlangsung di permukaan,
bersifat sementara, dan tidak bisa melembaga. Perubahan yang tidak dilaksanakan
atas kemauan bebas rakyat bisa dimisalkan perubahan yang dipaksakan oleh
kekuatan-kekuatan luar. Dengan demikian itu merupakan unsur asing, yang tak
bisa diintegrasikan ke dalam kebudayaan masyarakat tanpa kerja sama para warga
masyarakat. Jika perubahan itu bertolak dari keputusan yang diambil berdasarkan
kemauan bebas rakyat, unsur baru itu akan diintegrasikan ke dalam kebudayan
masyarakat sehingga menjadi bagian dari lembaga-lembaga sosial yang ada.
Pemerintah Militer Jepang menerapkan
cara-cara yang lebih keras untuk memaksakan perubahan-perubahan pada masyarakt
desa, keputusan untuk merubah diambil da pelaksanaannya direncanakan oleh
komando militer dan dipaksakan pada rakyat. Akibatnya, perintah-perintah itu
dilaksanakan oleh rakyat dengan penuh keengganan.
Kebijakan pemerintahan Indonesia
setelah revolusi sangat berbeda dengan kebijakan yang diterapka sebelum
revolusi. Para pelopor perubahan tidak memaksakan perubahan-peruabhan pada
penduduk pedesaan. Sebelumnya, mereka telah yakin akan kemungkinan-kemungkinan
teknis perubahan yang direncanakan dan kemudian mendemonstrasikan perubahan itu
dengan mengikutsertakan rakyat yang bersangkutan. Sementara itu inovasi
tersebut dibicarakan dengan rakyat yang tidak diharuskan untuk menerimanya.
Sesudah propaganda yang cukup dan diskusi bebas, terserah pada penduduk untuk
memutuskan apakah menolak, mengubah, atau menerima inovasi itu.
13. Perubahan dari sistem kelas tertutup
ke suatu kelas terbuka mungkin sekali akan disertai dnegan perubahan dari
sistem komunikasi vertikal satu arah ke sistem komunikasi vertikal dua arah.
Salah satu ciri sistem kelas
tertutup adalah hak istimewa kelas atas untuk menetapkan kaidah-kaidah tingkah
laku kelas-kelas lainnya, terutama kelas yang lebih bawah. Kelas atas juga
mempunyai hak istimewa untuk menentukan prinsip dasar politik ekonomi dan
sosial yang berlaku untuk semua kelas dalam masyarakat. Pelaksanaan yang
sesungguhnya prinsip-prinsip dasar ini bisa berbeda dalam hal-hal tertentu di berbagai
kelas, akan tetapi norma-norma umum yang berlaku bagi semua kelas adalah sama.
Semua kelas menerima kelas atas sebagai badan yang sah untuk menetapkan
norma-norma ini. Sesungguhnya hak istimewa inilah yang membuat suatu kelas
menjadi kelas atas dalam suatu masyarakat.
Sistem kelas terbuka memberikan
kesempatan kepada para warga kelas-kelas yang rendah untuk naik ke kelas-kelas
yang lebih tinggi. Kemungkinan adanya mobilitas keatas merupakan suatu
perangsang bagi mereka ynag berada di kelas bawah untuk memperoleh semua harta
kekayaan atau ciri-ciri yang akan menggolongkan mereka dalam kelas diatasnya.
Perbedaan cara berkomunikasi sistem
kelas tertutup dnegan sistem kelas terbuka akan nampak kalau kita membandingkan
tatahubungan antara pamong praja dengan masyarakat pedesaan di yogyakarta
sebelum revolusi dengan tata hubungan anatara keduanya sesudah revolusi.
Sebelum revolusi, dalam tiap pertemunan bulanan yang diselenggarakan oleh pamong
praja dengan para kepala desa beserta pembantu-pembantunya, cara berkomunikasi
satu arahlah yang digunakan. Perubaha dalam berkomunikasi anatara pamong praja
dengan emerintahan desa sangat menyolok. Argumentasi mengalir bolak balik dari
atasan maupun bawahan, dan tidak heran seorang bawahan mengeritik atasannya di
depan orang banyak selama rapat berlangsung.
14. Perubahan dari sistem kelas tertutup
ke kelas terbuka cenderung ntuk mengalihkan orientasi rakyat dari tradisi dan
membuat mereka lebih mudah menerima perubahan-perubahan lainnya.
Terbukanya sistem kelas dalam
masyarakat jawa sesudah revolusi nasional telah mengembalikan kesadaran rakyat
semua golongan akan harkat manusia, hal ini snagat menyolok di kalangan para
warga kelas bawah. Tiap orang melihat bahwa usaha dan ikhtiar, jika dilakukan
sepenuh hati dan diterima oleh masyarakat, akan memberinya ganjaran. Status
yang bersifat tradisional menjadi kurang penting jika dibanding dengan prestasi
seseorang.
Perubahan dalam sistem kelas jga
menimbulkan kecenderungan yang kuat di kalangan masyarakat pedesaan untuk
memperluas ruang lingkupnya. Proses meluasnya ruang lingkung masyarakat ini
nampaknya mengendorkan ikatan-ikatan tradisi yang mengikat para warga
masyarakat.
15. Semakin lama dan semakin berat
penderitaan yang telah dialami oleh rakyat karena berbagai ketegangan
psikologis dan frustasi, semakin tersebar luas dan cepat pula kecenderungan
perubahan yang akan menuju kepada kelegaan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
·
Kehidupan
sosial budaya masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan perilaku manusia
dalam menjaga nilai-nilai luhur demi menciptakan tatanan masyarakat yang baik.
·
Dalam hal
perilaku kehidupan sosial budaya, masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta tidak
bisa lepas dari kebudayaan yang membentuknya, yaitu kebudayaan dari peradaban
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
·
Sosial budaya di Yogyakarta mengalami perubahan dari
masa ke masa. Perubahan
masyarakat Yogyakarta dimulai sejak zaman kolonial hingga sekarang.
·
Terdapat unsur-unsur yang menjadi pengaruh kebudayaan
Jawa di Yogyakarta yaitu globalisasi, konsumerisme, masuknya budaya asing dan
budaya dalam negeri.
·
Perubahan
sosial yang digagas Selo Sumardjan justru berfokus pada perubahan di dalam
lembaga-lembaga masyarakat yang mempengaruhi sistem sosial, yang didalamnya
termasuk nilai,norma, sikap, dan tingkah laku.
·
Perubahan
sosial Yogyakarta berasal dari perubahan-perubahan ideology plitik dalam
masyarakat Jawa terutama di Yogyakarta
·
Proses
perubahan sosial yang terjadi di Yogyakarta, memunculkan dalil-dalil umum yang
merupakan karateristik perubahan sosial.
B. Saran
·
Sebagai
kota yang penuh dengan budaya, maka pelesarian kebudayaan di Yogyakarta harus
dilestarikan keberadaannya.
·
Yogyakarta
memiliki kekhasan dalan sistem sosial budaya, oleh karena itu penting bagi
masyarakat Yogyakarta untuk senantiasa menjaga kekahasa dari sistem sosial
budaya yang telah ada di Yogyakarta
·
Perubahan
sosial budaya di Yogyakarta jangan digunakan untuk melunturkan sistem sosial
budaya, sebaliknya dijadikan sebagai perbaikan sistem sosial budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Nasiwan,
Yuyun Sri. 2016. Teori Sosial Indonesia. Yogyakarta : UNY Press
Ranjabar,
Jacobus. 2014. Sistem Sosial Budaya Indonesia Suatu Pengantar. Bandung: ALFABETA,cv
Kartodirjo,
Sartono, dkk. 2013. Sejarah Sosial: Konseptualisasi, Model dan Tantangannya.
Yogyakarta: Penerbit Ombak
Soemardjan,
Selo. 1981. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press
Heppell, Daniel Justin. 2004.
Penyebab dan Akibat Perubahan Kebudayaan Jawa di Yogyakarta. Makalah (Diakses di http://1073zb3xfs20yv98x228do7r.wpengine.netdna-cdn.com/wp-content/uploads/2015/03/HEPPELL-Daniel. pada tanggal 25 Desember pukul 22:36)
http://disbud.jogjaprov.go.id/sosial-budaya (diakses
pada tanggal 25 Desember pukul 22:00)
https://nofalliata.wordpress.com/sosial-budaya/
(diakses pada tanggal 25 Desember pukul 22:20)
Komentar
Posting Komentar